Editor : Heru Margianto

SATU hari Minggu yang tak begitu indah. Seekor tikus menemukan remah-remah makanan. Ia makan sebutir. Lalu berjalan terus sembari memakan butiran-butiran selanjutnya.

Ia tak berpikir soal kemana butiran remah-remah itu akan membawanya: ke jebakan tikus, atau ke sumber remah-remah yang lebih aduhai.

Saat ia menemukan sumber remah-remah adalah sebuah kantong kertas yang berlubang di atas meja makan, ia balik ke sarangnya dan mengajak dua saudaranya untuk menyerbu kantong bolong itu ramai-ramai. Ia tak tahu isinya apa. Yang jelas enak.

Saat ketiganya sampai di meja, si empunya kantong sudah menunggu mereka dengan gagang sapu. Dalam sekali sabetan satu dari tiga tikus itu terlempar menghantam vas bunga cantik di meja. Vas pecah, bunga segar berhamburan.

Dua tikus yang selamat berlari ke dua arah yang berbeda. Si pemburu mengejar satu tikus sembari melempar sapu ke tikus lainnya. Luput. Sapu mengenai mouse laptop yang tak sengaja meng-klik tombol “send” di layar.
.

Tikus yang lain lari terkencing-kencing melintasi belakang TV dengan colokan-colokan stop kontak yang bertumpuk-tumpuk. Korslet. TV, DVD Player, Decoder TV Kabel, semuanya terbakar.

Kausalitas

Satu tikus mati. Dua selamat. Si pemburu – pemilik kantong kertas yang bolong – hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Malam harinya istrinya mengamuk vas bunga kesukaannya hancur. Itu vas bunga yang sangat sentimental.

Pagi harinya direktur perusahaan ngamuk, melihat materi email yang belum selesai sudah dikirimkan ke para pemegang saham.

Sore harinya ia harus membayar hampir 1.200 dolar untuk reparasi TV, DVD Player, Decoder dan beberapa piranti elektronik yang ikut korslet.

Kausalitas. Sebab akibat. Bukankah ini menggemakan kembali teori kekacauan Edward Lorenz tentang efek kepakan sayap kupu-kupu (butterfly effect)?

Lorenz, ahli matematika dan seorang meteorolog, menganalogikan bahwa kepakan saya kupu-kupu di hutan di Brazil secara teoretis dapat memicu munculnya badai tornado di wilayah Texas, ribuan mil jauhnya.

Benarkah bisa begitu?

Mari kita cermati kembali petualangan satu tikus yang menemukan remah-remah dalam kisah tadi.

Apakah ia bisa dipersalahkan atas memburuknya hubungan si pemilik kantong kertas dengan istrinya?

Apakah tikus itu harus bertanggungjawab atas dipecatnya si pemilik kantong kertas dari perusahaannya?

Bisakah, dalam konteks yang lebih ekstrem, suami dan istri bercerai gara-gara seekor tikus makan remah-remah?

Atau, seorang manajer perusahaan dipecat karena gagang sapu?

Hal sederhana yang memicu terobosan besar

Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai Futurism: Economy of Faith and Hope telah sedikit disinggung mengenai bagaimana kita menghubungkan titik-titik di masa lampau, memahami polanya, dan memprediksikan probabilitas yang akan terjadi di masa depan.

Tulisan kali ini lebih teknis. Soal logika. Mungkin orang-orang IT akan menyebutnya dengan ‘algoritma’.

Futurism di dalam esensinya adalah proses belajar menciptakan ‘suatu produk’ dalam imajinasi.

Namun begitu, imajinasi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia lahir dari percikan-percikan pengalaman dan permenungan masa lampau.

Ungkapan Lorenz yang menyatakan bahwa kepakan sayap kupu-kupu, secara teori, sangat mungkin menjadi badai di belahan dunia lainnya, adalah refleksi dari probabilitas dalam Futurism.

Dengan kata lain, hal-hal sederhana yang menjadi serentetan kejadian (series of events) di masa lampau akan melahirkan terobosan besar dalam imajinasi dan pemikiran-pemikiran yang pada akhirnya bermuara ke suatu ‘produk final’ di dalam benak.

Produk final ini tinggal menunggu waktu yang tepat, sumber daya yang tepat, dan lingkungan yang tepat untuk meledak dalam dunia nyata. Oh ya, lingkungan yang dimaksud termasuk soal regulasi.

Futurism dan Inovasi

Beberapa simulasi yang dilakukan dalam proses inovasi bisnis dan produk sering mengacu pada hal-hal tadi. Nasihat terbaik untuk berinovasi dan memikirkan terobosan masa depan adalah dengan melihat apa yang kurang dari titik-titik event masa lampau.

Bila terobosan tersebut mampu mengisi setiap kekurangan di masa lampau, maka peluang untuk berhasilnya produk inovasi tersebut sangat tinggi. Bukan sekadar ada dan ‘fashionable’ atau keren, tetapi ada untuk suatu alasan yang belum terjawab di masa lampau.

Sekali lagi, hukum kausalitas berlaku.

Saat saya melihat pisau lipat Victorinox buatan Swiss misalnya, saya melihat mahakarya yang pada jamannya mungkin dicibiri. Bagi saya, pisau lipat itu adalah contoh disrupsi pertama saat revolusi industri sedang bertransformasi dari 2.0 menuju 3.0.

Ini adalah penemuan yang lebih spektakular ketimbang revolusi digital saat ini, karena pisau lipat itu adalah produk yang secara akurat menjawab kekosongan dari titik-titik di masa lampau untuk kebutuhan peralatan sehari-hari yang praktis, multiguna, dan tentu saja keren.

Cara anda memahami pisau lipat ini, jangan lihat apa yang bisa ia lakukan di masa depan, tetapi bagaimana awal mulanya sehingga ia lahir dan diciptakan.

Cara yang sama akan Anda pakai untuk melihat bagaimana akhirnya lahir perusahaan-perusahaan berbasis teknologi digital seperti Amazon, PayPall, Uber dan AirBnB. Keempat perusahaan itu telah direplikasi ratusan kali di seluruh dunia. Replikasi itu, meminjam istilah Lorenz, adalah tornadonya.

Kita tidak bisa melihat mereka seperti adanya sekarang ini, tetapi lihatlah sepuluh dua puluh tahun lalu, kekosongan apa yang menarik perhatian Amazon dkk tersebut.

Hari ini Anda memang sedang melihat ‘badai tornadonya’, tapi apakah anda sudah berhasil melihat ‘kepakan sayap kupu-kupunya’? That’s my point.

Cara kebanyakan industri atau bisnis memperlakukan futurism adalah dengan menarik garis lurus dari hari ini ke masa depan, melihat badai tornado di depan sana.

Mendiang Steve Jobs, pendiri Apple, tak akan setuju dengan metode ini. Kita, industri dan bisnis, seharusnya menarik garis dari satu titik di masa lampau ke titik di hari ini.

Kita harus mampu melihat kepakan sayap kupu-kupu itu dulu sebelum berbicara soal tornadonya. Begitulah protokolnya.

Hanya dengan cara ini, imajinasi-imajinasi kita tak hanya berisi sampah busuk, tetapi gagasan-gagasan yang menjawab tantangan dan kebutuhan masa depan.

“So many things are possible as long as you don’t know they are impossible.” – Mildred D. Taylor.





Lupakan tornadonya. Semoga kita segera menemukan kepakan sayap kupu-kupu itu.

Sumber Asli : Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Futurism #2: Butterfly Effect“, 

Editor : Heru Margianto

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.
AC MAhendra K. Datu
AC Mahendra K Datu
Pekerja corporate research.

Share this:

Like this:

Like Loading...
×
×

Cart

%d bloggers like this: