SAYA termasuk golongan generasi X. Tapi kalau berbicara soal millenial, saya tak mau menyerah kalah, dan saya berusaha keras menjadi seperti mereka. Sulitkah? Pasti. Sia-sia?
Oo tidak! Begini ceritanya.
Di awal tahun ini saya diundang sekumpulan anak muda yang sangat sibuk mengejar mimpi mereka dengan cara mengajak yang lain ikut bersama-sama mengejar mimpi kolektif: wealth.
Sebut saja namanya Stefano, umur kira-kira 19 tahun. Ia mengajak temannya, bolehlah kita namai dia Willy, baru saja berulang tahun ke 17.
Saya mengenal Stefano sudah setahun lebih, dan melihatnya bertumbuh dari sosok yang kurang pe-de menjadi orator – atau influencer kalau saya boleh sebut – yang sangat handal.
Saya sendiri mengalami tahun-tahun yang panjang di masa kecil saya sebagai orang minder: kecil, rada kurus, bukan dari keluarga kaya raya.
Tapi apa bedanya dengan kedua anak muda yang saya sedang ceritakan ini? Dengan situasi dan zaman yang berbeda, kondisi mereka dan saya hanya sebelas dua belas.
Saya meninggalkan Indonesia sepuluh tahun dan menetap di beberapa negara yang berbeda, tapi di sana saya belum pernah melihat fenomena anak-anak muda dengan segala keterbatasannya mentransformasi diri mereka menjadi raksasa pengaruh yang memberi mereka sihir untuk berbicara dengan sangat percaya diri di hadapan orang-orang yang usianya dua atau tiga kali lipat dari usia mereka. Sungguh ajaib!
Saya jadi teringat dengan kisah penjual alat x-ray portable di San Fransisco, Chris Gardner. Sebelum menjadi pria yang sukses kaya raya dan bahkan menjadi seorang motivator handal, Chris hanyalah seorang salesman biasa yang tak pandai bernego. Kehidupan rumah tangganya pun sempat amburadul.
Suatu hari ia melihat seorang pria berhenti di dekatnya saat ia berjalan di depan gedung bursa saham San Fransisco. Yang mengganggu benaknya adalah, pria itu keren, dan dia mengemudi Ferrari.
Tak tahan hanya menonton, Chris memberanikan diri menanyakan kepada si pemilik Ferarri, “Hi Bro, I have two questions for you: what do you do, and how do you do it?”
Pertanyaan yang sangat sederhana dan iseng: “Apa yang kamu kerjakan, dan bagaimana kamu mengerjakannya?”
Lalu saya ikutan kepo. Anak-anak muda yang saya ceritakan itu tadi, sihir apa, atau mantra apa, yang mereka pelajari sehingga mendadak mereka menjadi orang-orang yang sangat percaya diri, menjual apapun yang mereka tawarkan kepada orang-orang lain, dan bahkan tak lelah mencoba kembali meski ditolak.
Langsung saja saya tanyakan dengan cara yang tersamar: “Apa yang kalian lakukan, dan bagaimana kalian melakukannya?”
Standar baru survival
Dari ngobrol-ngobrol di meja makan, barulah saya ‘ngeh’, bahwa merekalah orang-orang normalnya, sayalah yang anomali.
Anak-anak muda ini telah menciptakan standar baru soal survival, bagaimana menyelamatkan masa depan mereka sendiri, dan tak peduli dengan protokol-protokol lama yang masih dipakai orang-orang seusia saya.
Mereka menciptakan ‘the new normal’dengan anggapan bahwa masa depan adalah milik mereka, dan tak ada satupun orang-orang tua yang bisa menyelamatkan masa depan mereka selain mereka sendiri. Dan uniknya, mereka berkolaborasi, bukan berkompetisi.
Pertemuan malam itu dengan setengah lusin anak muda membuat saya begitu tenang. Mereka sudah membaurkan diri menjadi bagian dari global citizenship, masyarakat tak berbatas, masyarakat yang melihat dunia luas hanyalah sebuah desa di mana orang-orangnya saling menyokong untuk bertahan hidup. Tak ada inferiority complex dalam jiwa mereka.
November tahun 2016 saya bersama mitra bisnis saya berkesempatan mengikuti program pengembangan profesional di Harvard.
Bukan pelatihannya saja yang wah banget, tapi lebih daripada itu, kami diberi kesempatan untuk mengamati distrik kecil di wilayah Cambridge di mana Universitas Harvard berada yang hampir 80 persen penduduknya kalau bukan mahasiswa Harvard ya mahasiswa MIT karena hanya bertetangga saja kampusnya.
Kami lihat begitu majemuknya orang-orang yang menghuni kota kecil itu. Tak ada kesan wajah yang terbeban. Mereka memang serius, tapi tak ada wajah bersungut-sungut penuh beban.
Inikah representasi desa global yang paling ideal di dunia ini?
Hampir semua anak muda dari berbagai belahan dunia (sekilas tampak memang kebanyakan dari India, China dan Eropa Timur) menikmati kemajemukan itu untuk menimba ilmu bersama-sama.
Mereka menjadi terbiasa untuk percaya diri karena mereka tak lagi memiliki alasan untuk ‘mengapa harus terkungkung dalam tempurung’?
Anak-anak muda di wilayah Cambridge memang tak bisa disebut mewakili anak-anak muda seluruh dunia, tetapi spirit mereka menjadi magnet yang luar biasa: spirit untuk menang, menjadi yang terbaik, dan pada akhirnya survived – selamat dari keadaan.
Berhenti mengejar banyak hal
Seth Godin – pelatih pengembangan profesional dunia – mengatakan dalam bukunya “The Dip”, bahwa salah satu ciri orang yang bakat untuk menjadi pemenang, menjadi yang terbaik dan selamat di perjalanan zaman adalah orang-orang yang terfokus hidupnya dan berhenti mengejar banyak hal.
Generasi saya, dan mungkin sebagian dari para millenials yang sebentar lagi akan dilibas oleh generasi Alpha, masih menyukai sebuah paket ‘safety net’ yang banyak jumlahnya, mengejar banyak hal, dengan alasan untuk untuk survive dan bertahan
Tetapi, bukankah hal-hal itulah yang membuat sebagian besar dari yang pernah mencoba strategi itu gagal?
Dan inilah yang gagal saya pahami selama ini, seolah menjadi all-rounder, multi-tasker, adalah jalan paling umum dan aman untuk bertahan.
Stefano, juga Willy, dua anak yang saya ceritakan tadi, tak perlu harus pergi ke Harvard, MIT atau keliling dunia. Teknologi internet, juga media sosial, telah memampukan mereka untuk belajar dari anak-anak sebaya mereka di belahan lain di dunia.
Bangsa ini tak hanya kaya karena sumber alam dan besarnya jumlah penduduk, tapi karena generasi yang sedang mencari identitas diri ini jauh lebih matang dalam menyikapi berbagai perubahan dunia.
Mereka tahu apa yang mereka mau. Mereka juga tahu bahwa mereka mampu. Mereka berhenti mengejar banyak hal; mereka bunuh rasa takut dan keraguan; mereka tak mentah-mentah menerima nasihat kita para orang tua, tetapi mennerjemahkannya dalam konteks zamannya.
Saya tak khawatir dengan masa depan bangsa ini. Desa kecil bernama Indonesia ini memang memiliki karunia luar biasa, sehingga orang-orang lain melihatnya sebagai tempat untuk belajar: belajar menjadi anggota masyarakat dunia yang yakin bahwa memenangkan masa depan cukup dimulai dengan dua hal sederhana: optimisme, dan rasa percaya diri. Itu saja dulu.
Fortis fortuna adiuvat. Nasih baik berpihak pada mereka yang berani.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Cool Village: Belajarlah sampai ke Indonesia!”, https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/16/191122526/cool-village-belajarlah-sampai-ke-indonesia?page=all.